Tentang Buku "How Democracies Die" yang Dibaca Anies Baswedan

Pada minggu lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghebohkan jagad maya dengan unggahannya di Instagram. Sang Gubernur yang sudah mendapat dukungan untuk menjadi calon Presiden di Tahun 2024 itu selalu menarik perhatian, terlebih saat ia dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kerumunan yang terjadi di Jakarta.


Anies Baswedan memposting foto saat dirinya sedang duduk sambil membaca buku dilengkapi caption "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi.". Foto itu langsung mendapat tanggapan yang beragam dari netizen. Yang membuat banyak orang berspekulasi adalah karena dalam foto, Anies Baswedan terlihat sedang membaca buku berjudul "How Democracies Die" atau dalam bahasa Indonesia berarti "Bagaimana Demokrasi Mati".

Seolah apa yang dibaca sang Gubernur sangat pas dengan situasi sekarang. Banyak yang menduga, itu adalah "kode keras" dalam bentuk "satir" yang disampaikan untuk menyampaikan pesan tanpa bicara, tanpa menjelaskan panjang lebar apa yang ingin dikatakan.

Lalu, tentang apa sebenarnya isi dari buku "How Democracies Die" tersebut? Berikut ulasan singkatnya:

Dari data pada situs Goodreads, buku ini pertama terbit pada tahun 2018 oleh Crown Publishing Group. Ini artinya, pernyataan ketua KPK yang mengatakan pernah membaca buku tersebut pada tahun 2002 adalah hoax atau mungkin ketua KPK sudah mendapatkan bukunya jauh sebelum buku tersebut diterbitkan secara luas.

Buku yang ditulis oleh dua ilmuan Harvard, bernama Steven Lavetsky dan Daniel Ziblatt ini menyoroti kemunculan pemimpin yang terkesan "diktator". Padahal pemimpin-pemimpin tersebut muncul dari hasil pemilu. Ironisnya, kematian demokrasi saat ini bukan karena kediktatoran seorang pemimpin atau militer yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta. Demokrasi mati justru karena pemilu dari hasil demokrasi itu sendiri.

Jauh dari Indonesia, buku ini banyak berisi perhatian tentang demokrasi di Amerika Serikat, terutama soal terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden. Trump menang pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Saat itu Trump mengalahkan calon lainnya, Hillary Clinton. Padahal banyak survei lokal yang memprediksi kekalahan Trump. Trump memenangkan pertarungan karena memainkan isu rasisme kulit hitam dan menebarkan ketakutan melalui hoax.

Begitu jadi Presiden, Trump langsung mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Mulai dari pengumuman perang lewat Twitter, ingin membangun tembok perbatasan Meksiko - Amerika Serikat, mengusik Korea Utara dan Afghanistan, hingga yang paling kontroversial soal pengakuannya terhadap Yarusalem sebagai ibu kota israel.

Selain tentang "Kematian Demokrasi" di Amerika Serikat, buku ini juga menyoroti Demokrasi di negara lain yakni: Filipina, Venezuela, Polandia, Rusia, Brazil, Ukraina, Turki, dan Sri Lanka.

Di luar dari kontroversi tersebut, membaca buku begitu penting untuk menambah wawasan kita. Terutama wawasan yang berhubungan dengan profesi kita. [tacom/ip]

Posting Komentar

0 Komentar